Beberapa tahun belakangan saya mengamati bahwa makin tumbuh kesadaran pemerintah untuk memperkecil jurang pemisah antara Dunia Usaha dan dunia Pendidikan. Komitmen tersebut dibuktikan secara nyata melalui serangkaian kegiatan yang seolah-olah “Diwajibkan” agar dikerjakan oleh pihak sekolah, terutama Sekolah Menengah dan Kejuruan (SMK). Selama ini, Dunia Usaha dan Industri memang terkesan berlari cepat, sedangkan sektor pendidikan merespon dengan lebih lambat. Oleh karena itu memang amat penting adanya Sinkronisasi Dunia Usaha dan Pendidikan. Prilude Studio yang dalam hal ini berada pada sisi Dunia Usaha dan Industri (DUDI) merasa tertarik, tertantang, dan bersemangat untuk bekerja bersama dengan pihak Sekolah guna memperkecil gap diantara keduanya.
Pada hari Selasa, 25 Juni 2019 bertempat di SMK Daarul Abroor Kabupaten Tasikmalaya kami diberikan kesempatan untuk mengutarakan apa saja yang sekiranya dibutuhkan didunia usaha pada saat ini. Prilude Studio dan Daarul Abroor memang memiliki keterikatan sebelumnya. Ada beberapa Siswa SMK Darrul Abroor yang melakukan Praktek Kerja Industri (Prakerin) di Prilude Studio. Dengan adanya Siswa Darrul Abroor kami bisa mempertajam tentang hal apa saja yang memang dibutuhkan di Dunia Industri yang belum di response oleh dunia pendidikan.
Hasil Sinkronisasi Dunia Usaha dan Pendidikan
Dalam acara yang bertajuk “In House Training Penyusunan Perangkat Pembelajaran Tersebut” saya mengutarakan beberapa hal diantaranya adalah
1. Outcome RPL harus diperlebar
Jika kita berbicara tentang RPL, Teknik Informatika, Ilmu Komputer kita biasanya fokus pada output harus menjadi Programmer. Tidak, saya tidak akan mengatakan itu adalah hal yang salah, itu tetap jadi fokus utama. Namun, saya ingin mengajak bahwa mari kita perlebar lulusannya ke bidang-bidang lain. Berdasarkan pengalaman dan hasil diskusi dengan Guru maupun Dosen rata-rata mereka bilang bahwa dalam satu kelas yang benar-benar jadi Programmer ulung (tangguh) itu tidak lebih dari 20% saja. Hal tersebut bisa disebabkan banyak hal, diantaranya adalah minat dari peserta didiknya. Ya memang ironis, peserta didik masuk ke jurusan RPL atau Ilmu Komputer tapi mereka tidak minat koding.
Dari studi kasus tersebut, saya berpikir bahwa sudahlah jangan paksakan mereka untuk fokus menjadi programmer. Output dari lulusan RPL atau teknik Informatika saya kira masih bisa diperlebar lagi. Diantaranya adalah UI/UX designer dan juga Quality Control. Dua bidang itu ada dalam life cycle pengembangan perangkat lunak, tapi tenaganya tidak dilatih secara maksimal.
Di Prilude Studio sendiri kami sadar bahwa UI dan UX designer adalah tenaga yang amat sangat vital. Kami tidak akan bisa membuat aplikasi yang poweful jika komponen ini dilewat dan langsung masuk ke koding. Amat sangat sulit dibayangkan. Namun sayangnya, bagian ini banyak diisi oleh orang DKV. Tidak, sekali lagi ini tidak salah, tapi jika bisa diisi oleh lulusan RPL mungkin akan lebih bagus. Karena RPL tahu bagaimana software bekerja, bukan hanya tahu bagaimanan komposisi warna yang bagus.
2. Programer ini yang dibutuhkan
Salah satu hal yang jadi gap besar Antara sekolah dan dunia usaha dalam bidang Software adalah disekolah siswa masih belum belajar bahasa pemrograman mobile, tapi di industri ini yang banyak dicari. Pada acara tersebut saya sampaikan bahwa Prilude Studio kesulitan untuk cari programmer Android. Memang kenyataannya demikian. Saya sejenak berandai-andai, jika seandainya Prilude Studio ada di Kota Bandung, mungkin gak akan sesulit ini. Fakta dilapangan adalah Kami yang bermarkasi di Kota Tasik memang kesulitan untuk mencari Programmer Android. Saking sulitnya pada akhirnya kami melakukan konversi dari Programmer Web menjadi Programmer Android.
Dari sisi kurikulum memang pemerintah sudah meresponnya dengan cukup (meskipun gak baik-baik amat). Dari stuktur kurilum yang ada, memang sudah disediakan slot jam yang cukup bagi siswa belajar Pemrograman bergerak.
Namun kendala bukan pada kurikulum. Kendala yang ada adalah TIDAK ADA FASILITAS yang memadai untuk koding Android. Android Studio memang rakus RAM, dan hal tersebut menjadi kendala luar biasa di sekolah. Bukan perkara murah bagi sekolah untuk menyediakan laboratorium dengan spek yang mumpuni.
3. Cerdas di Algoritma itu lebih penting
Terlepas dari bahasa pemrograman apapun yang akan digunakan saya juga menyampaikan bahwa cerdas dalam Algoritma itu amat sangat dasar. Yang saya pelajari adalah bahwa ketika Siswa tersebut memiliki kemampuan yang mumpuni dalam Algoritma dan pemecahan masalahnya, mereka akan bisa bertahan ketika harus belajar bahasa Pemrograman baru.
Hal sebaliknya juga berlaku. Jika Siswa tersebut tidak baik atau tidak paham sama sekali bagaimana logika pemrograman dia tidak akan bisa jadi programmer yang bagus.
4. Ajarkan Untuk Kolaborasi
Prilude Studio seding kedatangan Siswa Prakerin dari berbagai SMK di sekitaran Kota Tasikmalaya. Ketika pertama kali datang, Saya selalu tanya ke siswa tersebut, apakah sudah terbiasa menggunakan Git? dan sayangnya hampir mayoritas mengatakan “TIDAK”. Hal tersebut menjadi fokus perbincangan lainnya dalam tema Pentingnya Sinkronisasi Dunia Usaha dan Pendidikan.
Siswa SMK dan bahwa perguruan tinggi sekalipun memang masih banyak yang melupakan pentingnya untuk bisa bekolaborasi. Jika kita bicara secara teknis maka dia setidaknya harus terbiasa menggunakan version control seperti Git serta tools kolaborasi lainnya seperti trello, slack, dll.
Namun diluar teknis, saya juga sampaikan bahwa mereka wajib diajarkan cara bekerja sama. Mereka wajib untuk diajarkan bagaimana bekerja dalam sebuah team. Hal tersebut penting mengingat dewasa kini, rasanya mustahil jika kita mengembangkan aplikasi itu hanya sendirian.
Disclaimer :
Tulisan ini adalah Opini Pribadi Taofik Muhammad (Direktur Prilude Studio). Bisa saja mengandung beberapa data yang tidak akurat.
Salam
Taofik Muhammad
(kontak bisnis: [email protected])